Diberdayakan oleh Blogger.

Rabu, 24 Februari 2016

Pagerbangsa #YGNI: Dalil Kebangsaan-Bernegara NKRI

Pager Bangsa. Pagerbangsa #YGNI: Dalil Kebangsaan-Bernegara NKRI

Plato [427-347 SM.], filsuf Yunani Kuno memandang model kehidupan negara-kota lah yang paling ideal. Negara ideal tidak boleh terlalu gemuk, cukup seluas kota agar mudah melakukan perencanaan, pengaturan, dan pendisiplinan.[1] Al-Farabi [w. 874 M.], sebagai wakil filsuf dari dunia Islam menawarkan konsep Madinah Fadhilah [Kota Utama] di mana seluruh kehidupannya didasarkan pada rasionalisasi [al-‘aql] yang menyatukan seluruh elemen masyarakatnya. Tanpa mempertimbangkan besaran wilayah suatu negara. al-Mawardi [w. 1058 M.], ahli hukum tata negara klasik menyatakan sebuah negara harus disatukan oleh suatu ideologi yang berwibawa dan diterima-patuhi oleh seluruh elemen yang hidup di dalamnya. Ideologi itu bernama agama [al-din al-mutha’].

Awalnya, konsep kebangsaan menuntut kesatuan asal; ras, bahasa, budaya, filosofi berfikir dan bahkan mungkin keyakinan. Negeri asal konsep ini muncul memang demikian adanya. Setiap suku bangsa memiliki lembaga politiknya sendiri. Sehingga timbul negeri-negeri kecil yang terpisah-pisah, independen, antara satu dan lainnya. Hal ini tentu saja berbeda dengan konteks Indonesia. Ribuan suku yang memiliki tradisi, adat-istiadat, filosofi dan keyakinan yang berbeda dipaksa-persatukan dalam sebuah negara kesatuan bernama NKRI. Hal ini tidak dapat disebut anomali dari konsep kebangsaan. Karena, konsep kebangsaan yang diambil adalah model Ernest Renan, seorang filsuf kawakan Prancis. Suatu kehidupan yang dibangun di atas dasar keinginan untuk hidup bersama dalam satu wadah negara. Yang boleh jadi diisi oleh kelompok masyarakat yang berbeda secara etnis, bahasa, dan keyakinan. Di sinilah problem keragaman kebudayaan itu timbul. Seseorang atau suatu masyarakat dituntut membiasakan diri menggunakan lebih dari satu kebudayaan. Demikianlah buku Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti kebahasaan terhadap konsep multikulturalisme. Di sisi lain, dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah (Kesatuan/ penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/ 1988 M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan. Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu') ajarannya. Artinya, kitab suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan. Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam Al-Quran surat Al-Ma-idah (5): 48: Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja). Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. 


Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina' limtina', atau dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan. Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan. Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing. Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105). Kalimat "dan berselisih" digandengkan dengan "berkelompok" untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa. 


Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Quran dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat. Dengan demikian, terjawablah pertanyaan pertama itu yakni Al-Quran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan --yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah-- hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.


Islam mengakui bahwa
perbedaan adalah suatu hal yang alami bagi manusia, dan setiap umat harus beriteraksi dengan perbedaan sesuai kaidah, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” 
(QS. al-Hujuraat: 13) Allah Swt telah menciptakan manusia berbeda-beda bangsa, budaya dan bahasanya, akan tetapi pada dasarnya mereka adalah “umatan
wahidatan” atau umat yang satu, maksudnya, perbedaan mereka tidak menghapuskan kesatuan kemanusiannya.

Rasulullah Saw bersabda,
“barangsiapa yang menyakiti kaum dzimmi (orang yang berada dalam lindungan kaum mukmin), maka ia telah meyakitiku.” Sementara jika pihak lain berasal dari kaum kafir, maka, hubungan kita dengan mereka harus berdasarkan kaidah “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Dalam setiap kondisi tersebut, sesungguhnya hubungan kaum muslimin dengan pihak lain bisa dirangkum dalam
sebuah hadits Rasulullah Saw “Seorang muslim adalah orang yang membuat manusia lain selamat dari tangan dan lisannya.” 

Dalam konteks kesatuan berbangsa inilah, maka para pendiri Negara ini sejak awal telah merumuskan empat pilar kebangsaan agar Negara ini menjadi Negara yang kuat dan dapat
berdiri dengan tegak dan bisa bersaing dengan Negara lainnya, yakni : Pancasila, UUDNRI, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.

Jumat, 24 April 2015

Kyai Muhammad Syechan Gurungaji YGNI yang Istiqomah Dakwah

Guru Ngaji YGNI. Kyai Muhammad Syechan Gurungaji YGNI yang Istiqomah Dakwah

Kyai Muhammad Syechan lahir didaerah basis merah artinya masyarakatnya jauh sekali dalam pelaksanaan syariat Islamnya. Sehingga awal-awal dia berdakwah sangatlah berat karena banyak tantangan yang menghadang beliau. Bahkan oleh pemerintah sendiri dicurigai sebagai penggerak PKI sampai diinterograsi sampai satu hari.

Tantangan demi tantanga dapat dilalui dengan baik oleh Kyai Muhammad Syechan sehingga mulai banyak masyarakat yang mengikuti beliau untuk melaksanakan sholat dan mengurangi kesenangan berjudi dan lainnya. Istiqomah beliau dalam dakwah untuk pembangunan dan pendidikan masyarakat perlu dicontoh banyak orang sehingga masyarakat akan merasakan susahnya berdakwah ditengah-tengah masyarakat.

Dalam akhir hayatnya nbeliau sebagai pembina Yayasan Guru Ngaji Indonesia Cabang Banyumas, sehingga beliau juga termasuk Guru ngaji YGNI yang sudah selama ini juga berdakwah membangun masyarakat. Istiqomah dalam dakwah perlu ditiru oleh para mubaligh / ustadz sehingga akan tahan mental dalam menghadapi masyarakat yang hedonis.

Disamping beliau sebagai Guru ngaji YGNI, dia juga sebagai pembina Pemuda Pakarti, dan pendiri Koperasi Makmur Purwojati dia juga membantu tiap bulannya juga menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu pendidikan Diniyah Athfal (DA) Diniyah Ula (DU) Shidiqiin Wara` dan Taman Bacaan Masyarakat Media Cerdik. Sungguh sangat besar jasa beliau buat kami. Selamat jalan Kyai Muhammad Syechan semoga amal-amal beliau diterima oleh Allah SWT dan mendapat ampunan beserta keluarganya serta semoga kami bisa meniru dalam istiqomah berdakwah.

Kyai Muhammad Syechan Pendiri PP Shidiqiin Wara` dan Pembina Pemuda Pakarti

Ponpes Shidiqiin Wara` Purwojati. Kyai Muhammad Syechan Pendiri PP Shidiqiin Wara` dan Pembina Pemuda Pakarti

Mengenang Almarkhum Kyai Muhammad Syechan ketika sedang mengajarkan ilmu hakikat merupakan pengalaman yang tak dapat dilupakan. Pengajaran dengan sistem yang mudah diterima oleh santri, sehingga mudah dipahami. Kyai Muhammad Syechan sangat berperan dalam pendidikan di wilayah Purwojati.

Jasa beliau adalah berdirinya Pondok Pesantren Shidiqiin Wara` serta mau mengarahkan pemuda ke jalan masa depan.Beliau membina Pemuda Pakarti agar menjadi pemuda yang siap dalam menghadapi masa depan harus siap tahan banting, tahan menderita. Karena penderitaan saat muda adalah untuk cambuk memperoleh masa depan yang lebih baik.

Dakwah beliau diterapkan langsung kedalam kehidupan nyata sehingga santri dibekali untuk siap menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Sebagai santri Kyai Muhammad Syechan maka anggota dan pengurus Pemuda Pakarti dan underbownya seperti SIR5 Band, TBM Media Cerdik, Koperasi Pakarti Maju juga organisasi lainnya seperti FKGNI merupakan organisasi guru ngaji YGNI juga sangat menghormati pperjuangan beliau

Jumat, 05 April 2013

Standar Kompetennsi Guru Ngaji YGNI


Standar Kompetennsi Guru Ngaji YGNI


Standar Kompetennsi Guru Ngaji YGNI

Shidiqiin Wara`, Simbah Wuri
Shidiqiin Wara` , Gurungaji YGNI
Raras Wuri Miswandaru, 4 April 2013, Adalah Pedoman pokok berisi seperangkat kemampuan dasar yang harus dimiliki Guru Ngaji YGNI yaitu guru yang mendakan kegiatan dibawah Yayasan Guru Ngaji Indonesia (YGNI)  dan mengikat unsur-unsur yang terlibat dalam penyelenggara atau pengajar satuan pendidikan keagamaan seperti pesantrenMadrsah Diniyah (Madin ) atau sering disebut Diniyah Takmiliyah baik formal maupun non formal, TPQ, TKQ, dan lainnya, peningkatan kemampuan guru ngaji YGNI, dan pengelolaan lembaga Keagamaan dibawah Yayasan YGNI.

Kenapa standarisasi kompetensi guru ngaji YGNI sangat penting dan diperlukan ? karena dari survai dan penelitian kami bahwa banyak guru ngaji berkemampuan rendah dalam penguasaan agama Islam sehingga menciptakan santri yang mutu keislamannya juga rendah pula. rendah dalam keilmuan maupun kualitas kepribadian Islamnya.

Diantara kendala yang dihadapi para guru ngaji asatidz dan asatidzah yaitu :
  1.  Guru ngaji hanya mengajarkan baca alquran saja padahal banyak orang non Islam juga sudah bisa baca alquran.
  2.  Memahami dalil berdasarkan kelompoknya saja sehingga mengaku paling benar sendiri lainnya sesat.
  3. Hanya mengajar berdasarkan pendapatnya atau golongannya dan tidak punya ghirah menghidupkan sunnah dan atau mempersatukan Islam demi kejayaan Umat Islam.

Sebetulnya masih ada beberapa yang menjadi kendala tetapi yang terbesar adalah yang diatas.
Standar Kompetensi Guru ngaji YGNI

Dari hasil penelitian tadi maka Yayasan Guru Ngaji Indonesia memutuskan guru ngaji YGNI harus punya standar kompetensi sendiri yang bisa diandalkan baik di lingkungan sendiri maupun oleh kelmpok lain atau bahkan oleh Pemerintah.

Adapun Standar Kompetensi Gurungaji YGNI tersebut yaitu :
1.    Beraqidah Islamiyah yang kuat
Guru ngaji YGNI beraqidah Islamiyah yang kuat dan tidak terpengaruh aqidah atheism, materialisme, sosialisme dan lainnya, sehingga perlu pendidikan dan pelatihan materi Aqidah Islam agar terjadi kesepahaman.
2.      Ikhlas dalam menghidupkan sunnah
Mengajarkan keislaman harus berdasarkan Alquran dan sunnah serta guru ngaji harus punya kemamuan untuk menghidupkan sunnah diwaktu orang lain menjauhi sunnah, sehingga menjadi contoh bagi lingkungannya.
3.      Punya ghirah memajukan dan mengembalikan kejayaan umat dengan persatuan dan kesatuan Umat Islam 
Setiap guru ngaji YGNI harus punya ghirah atau kemauan yang kuat untuk menghidupkan Islam dan mengembalikan kejayaan Umat Islam tanpa membedakan faham, golongan dan suku karena dasar kehancuran Umat Islam disebabkan oleh perpecahan yang disebabkan oleh ashobiyah tersebut. Dan setiap guru ngaji tidak mudah terpengaruh oleh pemahaman yang keliru yang menyebabkan perpecahan umat. Kita ambil i`tibar kasus Ali RA dan Aisyah bersama kelompoknya masing-masing,  mereka sama-sama mengalami bertemu nabi Muhammad SAW dan juga sama-sama keluarga Rasulullah tapi mereka bertempur. Siapakah yang benar ? Mereka semua AHLI SUNNAH .
4.      Punya kemampuan untuk mengembangkan umat secara sosial  ekonomi bukan secara pengetahuan islam saja.
Setiap Guru ngaji YGNI harus mampu dan punya keinginan kuat untuk mensejahterakan lingkungannya sehingga perlu dukungan dari lingkungannya. sehingga umat tidak dalam penderitaan yang berkepanjangan akibat politik materialisme orang-orang kafir.
5.      Berpendidikan cukup sesuai kebutuhan sehingga perlu pendidikan dan pelatihan yang terstruktur dan memadai.
Demikian pokok standar kompetensi Guru Ngaji YGNI sehingga nantinya Guru Ngaji YGNI ilmunya bertambah dan bisa menjadi  contoh bagi para penggerak dakwah dan tidak mudah dikalahkan oleh orang-orang kafir.



Follow:
https://twitter.com/GurungajiYGNI

Sabtu, 01 September 2012

Pengertian Shidiqiin

Pengertian Shidiqiin

Dalil QS. Al Baqarah : 177



" bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa. "

dari ayat ttersebut diatas langsung dapat disimpulkan bahwa Shidiqiin adalah orang yang benar imannya dan orang yang bertakwa.

saking pentingnya makna arti dan kedudukan shidiqiin adalah sangat menarik untuk dipelajari karena menurut arti shidiqiin yang tersurat dan tersirat pada ayat tersebut diatas. tetapi menurut kedudukannya , adalah orang yang menempati setelah nabi maka kedudukannya adalah Shidiqiin , lengkapnya adalah kedudukan para nabi, shidiqiin , syuhada baru kemudian sholihiin / anak atau orang sholih.

Maka abu bakar yang mempunyai Ash Shidiq menggantikan kedudukan nabi setelah wafat sebagai khalifah yang pertama.

Pengertian Wara`

 Pengertian sifat Wara`

Syaikh Abu Yazid Al-Bistami dikenal sebagai orang yang menjaga dirinya dengan sikap wara’. Sesuai riwayat Al-Bazzar dari Hudzaifah bin Al-Yaman, Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan ilmu itu lebih baik dari keutamaan ibadah dan cara terbaik untuk menjaga agamamu adalah bersikap wara’.”
Sikap wara‘ salah satunya dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas RA, “Aku pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan sebiji buah yang terbuang di atas ranjangku, maka aku mengambilnya untuk memakannya, kemudian aku khawatir kalau dia berasal dari buah yang disedekahkan maka akupun membuangnya.”
Dalam kitab Shahih Bukhari dari Aisyah RA diriwayatkan pula bahwa Abu Bakar pernah memuntahkan makanan
yang diberikan oleh pembantunya. Hal tersebut beliau lakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan tersebut berasal dari upah yang didapatkannya dari hasil meramal seseorang ketika jaman jahiliyah. Padahal pembantunya bukanlah peramal yang baik. Hanya saja ia berhasil menipunya.
Sikap wara’ seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA diatas mempunyai banyak keutamaan. Karena itu, Rasululah SAW dalam hadis yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi memerintahkan kepada Abu Hurayrah untuk bersikap wara’, sebab wara’ akan menjadikannya sebagai orang yang paling ahli dalam beribadah.

Apa sebenarnya pengertian dari wara'?

Wara’menurut kebahasaan mengandung arti menjauhi dosa, lemah, lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yang beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Ibrahim ibn Adham (w 160 H/777) mengatakan bahwa wara’ adalah meninggalkan syubhat (sesuatu yang meragukan) dan meninggalkan sesuau yang tidak berguna. Pengertian serupa juga dikemukakan Yunus ibn Ubayd, hanya saja ia menambahkan dengan adanya muhasabah (koreksi terhadap diri sendiri setiap waktu).
Imam al-Bukhari mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara':
"Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu." Ibn al-Qayyim al-Jawziyah menarik kesimpulan bahwa wara’ adalah membersihkan kotoran hati, sebagaimana air membersihkan kotoran dan najis pakaian.
Karena sikap wara' banyak orang yang melakukan pembersihan jiwa hanya mengkonsumsi makanan yang jelas sumber dan kehalalannya dalam kegiatan i'tikaf. Makanan diolah dalam keadaan wudhu dengan senantiasa mengingat Allah. Bahkan makanan berupa daging yang dikonsumsi dalam i’tikaf berasal dari sapi atau kambing yang disembelih sendiri oleh panitia i'tikaf. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar hewan disembelih sesuai syariat Islam sehingga terjamin kehalalannya.
 Diriwayatkan oleh Al-Nasa’I dari hadits Hasan bin Ali, dia berkata, “Aku telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW, “Tinggalkanlah apa-apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukannmu”. 
Di dalam shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an berkata: Aku telah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan dan dosa, maka beliau bersabda, “Kebaikan itu adalah akhlak yang baik dan dosa adalah
apa yang telah merasuk ke dalam hati namun engkau tidak suka jika orang lain melihat hal tersebut”.
Di dalam hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad: “ Sekalipun banyak orang yang memberikan fatwa kepadamu”.Sikap wara’ ini memiliki jangkauan yang cukup luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan yang lainlain. Banyak orang yang terjebak ke dalam perkara-perkara yang
diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini, yaitu bersikap wara’ dalam menjaga lisan, perut dan pandangan. Allah SWT berfirman: 
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. (QS. Al-Isro’: 36)


Sikap wara’ dalam mencari rezeki dan kehidupan sudah jarang disebut dan diperhatikan kaum muslimin. Kita lihat kaum muslimin sangat menggampangkan masalah ini sehingga terjerumus dalam perbuatan tercela dalam memenuhi kebutuhannya. Riba, dusta, menipu dan perbuatan haram lainnya di lakukan tanpa merasa berdosa hanya untuk dalih memenuhi kebutuhan hidup.
Apa hakikat Wara’?
Para ulama memberikan definisi wara’ dengan beberapa ungkapan, diantaranya:
  • Wara’ adalah meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu dan mengambil yang lebih baik.
  • Wara’ adalah ibarat dari tidak tergesa-gesa dalam mengambil barang-barang keduniaan atau meninggalkan yang diperbolehkan karena khawatir terjerumus dalam perkara yang dilarang.
Sedangkan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah menggambarkan sikap wara’ ini dengan ungkapan: “sikap hati-hati dari terjerumus dalam perkara yang berakibat bahaya yaitu yang jelas haramnya atau yang masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut tidak ada mafsadat yang kebih besar dari mengerjakannya” (Majmu’ Fatawa, 10/511). Hal ini disimpulkan secara ringkas oleh murid beliau imam Ibnu al-Qayim dengan ungkapan: “Wara’ adalah meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akhiratnya” (Al-Fawaaid hlm 118).
Jelaslah sikap wara’ adalah sikap meninggalkan semua yang meragukan dirimu dan menghilangkan semua yang membuat jelek dirimu. Hal ini dengan meninggalkan perkara syubuhat dan berhati-hati berjaga dari semua larangan Allah. Seorang tidak dikatakan memiliki wara’ sampai menjauhi perkara syubuhat (samar hukumnya) karena takut terjerumus dalam keharaman dan meninggalkan semua yang dikhawatirkan merugikan akhiratnya. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam :
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ
Perkara halal sudah jelas dan yang harampun sudah jelas. Diantara keduanya (halal dan haram ini) ada perkara syubuhat (samar hukumnya) yang banyak orang tidak mengetahuinya. Siapa yang menjauhi perkara syubuhat ini maka ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Siapa yang terjerumus dalam perkara syubuhat ini seperti seorang gembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkanNya“. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Jenis dan tingkatan Wara’
Imam Ar-Raaghib Al-Ashfahani membagi sikap wara’ dalam tiga tingkatan:
  1. Wajib, yaitu menjauhi larangan Allah dan ini wajib untuk semua orang.
  2. Sunnah, yaitu berhenti pada perkara syubuhat. Ini untuk orang yang pertengahan
  3. Fadhilah (keutamaan), yaitu menahan diri dari banyak perkara yang mubah dan mencukupkan dengan mengambil sedikit darinya untul sekedar memenuhi kebutuhan primernya saja. Ini untuk para nabi, shiddiqin, syuhada dan sholihin. (lihat kitab Adz-Dzari’ah Ila Makaarim al-Syari’at hal. 323).
Faedah dan manfaat sikap wara’
Sikap wara’ memiliki banyak sekali faedah, diantaranya adalah:
  1. Wara’ termasuk martabat tertinggi dari iman dan terutama dalam martabat ihsaan.
  2. Memberikan kepada seorang mukmin perasaan lega dan ketenangan jiwa.
  3. Masyarakat yang memiliki sikap wara’ akan menjadi masyarakat yang baik dan bersih.
  4. Allah mencintai orang yang bersikap wara’ dan juga para makhlukpun demikian.
  5. Sikap wara’ bisa menjadi sebab ijabah do’a.
Semoga Allah memberikan kepada kita sikap wara’ yang benar dan tepat dalam menghadapi gelombang fitnah dunia yang demikian besarnya ini.

 sebagaim tambahan mengenai wara`
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah"

          Sesungguhnya orang yang mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi'ar-syi'ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari setiap perkara yang bisa menyebabkan kemurkaan Allah I di dunia maupun di akhirat.
          Maka wara' di sisi-Nya termasuk jenis takut yang membuat seseorang meninggalkan banyak hal yang dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yang halal agar tidak merugikan agamanya.
          Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah r bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.
"Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya."[i]
Dan barangsiapa yang bertindak berani di tempat-tempat yang diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yang lebih berat: "Dan sesungguhnya orang yang bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yang diharamkan)."[ii]
          Maka wara' yang sebenarnya adalah seperti yang digambarkan oleh Yunus bin 'Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yang syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di setiap kedipan mata.[iii]
          Perjalanan kejatuhan berawal dengan satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yang menutupi dan menjaganya. Syaikh al-Qubbarirahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ini dengan katanya: 'Yang makruh adalah dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yang haram. Maka barangsiapa yang banyak melakukan yang makruh berarti ia menuju kepada yang haram. Dan yang mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yang dimakruhkan. Maka barangsiapa yang memperbanyak yang mubah niscaya ia menuju kepada yang makruh.'[iv]Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ini dan ia menambahkan: 'Sesungguhnya yang halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yang makruh atau haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yang halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yang dapat menjatuhkan diri seseorang dalam mengambil yang bukan haknya atau membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adalah tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tidak ada waktu untuk beribadah, pent.). Hal ini sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dengan pandangan mata.[v]
          Ciri mendasar pada seseorang yang bersifat wara' adalah kemampuannya meninggalkan sesuatu yang hanya semata-mata ada keraguan atau syubhat, seperti yang dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: 'Semua yang engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara' adalah menjauhinya.'[vi] Imam al-Bukharirahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: 'Tidak ada sesuatu yang lebih mudah dari pada sifat wara': "Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu."[vii]Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:
البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ –وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ
"Kebaikan adalah sesuatu yang jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adalah sesuatu yang jiwa tidak merasa tenang dan hati tidak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu."[viii] Dan yang memperkuat hal itu adalah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir rahimahullah secara mursal:
مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ
"Sesuatu yang diingkari hatimu, maka tinggalkanlah."[ix]
          Orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi selalu bersikap prefentif untuk diri mereka sendiri dengan berhati-hati dari sebagian yang halal yang bisa membawa kepada sesuatu yang makruh atau haram. Diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda:
لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
"Seorang hamba tidak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yang tidak dilarang karena khawatir dari sesuatu yang dilarang."[x]
Hal ini diperkuat oleh hadits yang lain:
اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ...
"Jadikanlah pendinding yang halal di antara kamu dan yang haram …"[xi]
Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pada suatu hari tentang sesuatu yang mubah (boleh): 'Ini menghalangi kedudukan yang tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dalam keselamatan."[xii]
          Sebagaimana wara' meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu'amalah, maka sesungguhnya ia juga mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tidak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yang berbunyi:Menahan diri (bersikap wara') dari menjawab sesuatu yang tidak ada dalam al-Qur`an dan sunnah.' Ishaq bin Khalafrahimahullah memandang sikap wara` dalam ucapan lebih utama daripada sikap wara` dalam hubungan yang berkaitan dengan harta, di mana dia berkata: 'Wara' dalam tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak…[xiii]
          Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam hadits-hadits Rasulullah r, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: 'Rasulullah r mengumpulkan semua sifat wara' dalam satu kata, maka beliau bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ
"Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yang tidak penting baginya."[xiv]
          Dan di antara hasil yang nampak bagi sikap wara' bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yang dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yang melakukan yang dilarang, ia menjadi gelap hati karena tidak ada cahaya wara', maka ia terjerumus dalam hal yang haram, kendati ia tidak memilih untuk terjerumus padanya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[xv] Dan dalam hadits ifki (berita bohong), 'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang Zainab radhiyallahu 'anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: 'Maka Allah I menjaganya dengan sifat wara'[xvi]
          Sebagaimana orang yang wara' memelihara agama dan kehormatannya dari celaan:
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
"…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ..."[xvii]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: 'Dalam hadits ini menjadi dalil bahwa barangsiapa yang tidak menjaga diri dari yang syubhat dalam usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untuk mendapat celaan. Dan dalam hal ini menjadi isyarat untuk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.'[xviii]
          Maka apabila wara' merupakan kedudukan ibadah yang tertinggi:
كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah."[xix]
Dan jika agama yang paling utama adalah sikap wara':
خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ
"Sebaik-baik agamamu adalah sikap wara'"[xx]
Apakah juru dakwah yang beriman tidak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tidak gugur sedangkan dia tidak mengetahui.
          Maka sesungguhnya banyak para sahabat yang takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dengan penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tidak  berarti adanya sifat itu pada diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara' dan taqwa yang luar biasa dari mereka radhiyallahu 'anhum jami'an.
          Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri.

Kesimpulan:
1.         Wara' adalah sikap takut yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang boleh, sebagai sikap kehati-hatian.
2.         Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah:
a.      Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
b.     Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang.
c.      Menjauhi semua yang diragukan.
d.     Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.
e.      Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
f.       Meninggalkan perkara yang tidak berguna.
3.         Di antara buah wara' adalah:
a.      Menjaga diri dari istidraj.
b.     Menjaga agama dan kehormatan.
4.         Di antara sikap wara' para sahabat bahwa mereka sangat  khawatir terhadap diri mereka dari sifat nifaq.




[i]  HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107.
[ii]  Sunan Abu Daud, kitab buyu' (jual beli), bab ke-3 no. 3329.
[iii]  Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 290.
[iv]  Fath al-Bari 1/127, saat menjelaskan hadits no. 52. dari kitab al-Iman, bab ke-39.
[v] Fath al-Bari 1/127.
[vi]  Fath al-Bari 4/293, dari syarah bab ke-3, dari kitab Buyu'.
[vii]  Shahih al-Bukhari, dari judul bab ke-3, dari kitab al-Iman.
[viii]  Shahih al-Jami' no. 2881 (Shahih).
[ix]  Shahih al-Jami' no. 5564 (Shahih)
[x]  HR. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hasan.
[xi]  Shahih al-Jami' no. 152 (Shahih).
[xii]  Tahdzib Madarijus salikin hal. 292.
[xiii]  Tahdzib Madarijus salikin hal. 290.
[xiv]  HR. at-Tirmidzi no. 2318 (Hasan).
[xv]  Fath al-Bari 1/127-128, saat menerangkan bab ke-39 dari kitab al-Iman.
[xvi] Shahih al-Bukhari, kitab Maghazi, bab ke-34, hadits no. 4141.
[xvii]  Shahih al-Bukhari, kitab al-Iman, bab ke-39, hadits no. 52.
[xviii]  Fath al-Bari 1/127.
[xix] Shahih al-Jami' no. 4580 (Shahih).
[xx]  Shahih al-Jami' no. 3308.