Rabu, 24 Februari 2016

Pagerbangsa #YGNI: Dalil Kebangsaan-Bernegara NKRI

Pager Bangsa. Pagerbangsa #YGNI: Dalil Kebangsaan-Bernegara NKRI

Plato [427-347 SM.], filsuf Yunani Kuno memandang model kehidupan negara-kota lah yang paling ideal. Negara ideal tidak boleh terlalu gemuk, cukup seluas kota agar mudah melakukan perencanaan, pengaturan, dan pendisiplinan.[1] Al-Farabi [w. 874 M.], sebagai wakil filsuf dari dunia Islam menawarkan konsep Madinah Fadhilah [Kota Utama] di mana seluruh kehidupannya didasarkan pada rasionalisasi [al-‘aql] yang menyatukan seluruh elemen masyarakatnya. Tanpa mempertimbangkan besaran wilayah suatu negara. al-Mawardi [w. 1058 M.], ahli hukum tata negara klasik menyatakan sebuah negara harus disatukan oleh suatu ideologi yang berwibawa dan diterima-patuhi oleh seluruh elemen yang hidup di dalamnya. Ideologi itu bernama agama [al-din al-mutha’].

Awalnya, konsep kebangsaan menuntut kesatuan asal; ras, bahasa, budaya, filosofi berfikir dan bahkan mungkin keyakinan. Negeri asal konsep ini muncul memang demikian adanya. Setiap suku bangsa memiliki lembaga politiknya sendiri. Sehingga timbul negeri-negeri kecil yang terpisah-pisah, independen, antara satu dan lainnya. Hal ini tentu saja berbeda dengan konteks Indonesia. Ribuan suku yang memiliki tradisi, adat-istiadat, filosofi dan keyakinan yang berbeda dipaksa-persatukan dalam sebuah negara kesatuan bernama NKRI. Hal ini tidak dapat disebut anomali dari konsep kebangsaan. Karena, konsep kebangsaan yang diambil adalah model Ernest Renan, seorang filsuf kawakan Prancis. Suatu kehidupan yang dibangun di atas dasar keinginan untuk hidup bersama dalam satu wadah negara. Yang boleh jadi diisi oleh kelompok masyarakat yang berbeda secara etnis, bahasa, dan keyakinan. Di sinilah problem keragaman kebudayaan itu timbul. Seseorang atau suatu masyarakat dituntut membiasakan diri menggunakan lebih dari satu kebudayaan. Demikianlah buku Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti kebahasaan terhadap konsep multikulturalisme. Di sisi lain, dalam Al-Quran ternyata ditemukan sembilan kali kata ummat yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat. Tidak sekali pun Al-Quran menggunakan istilah Wahdat Al-Ummah atau Tauhid Al-Ummah (Kesatuan/ penyatuan umat). Karena itu, sungguh tepat analisis Mahmud Hamdi Zaqzuq, mantan Dekan Fakultas Ushuluddin Al-Azhar Mesir, yang disampaikan pada pertemuan Cendekiawan Muslim di Aljazair 1409 H/ 1988 M, bahwa Al-Quran menekankan sifat umat yang satu, dan bukan pada penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan, bukan penyatuan. Perlu pula digarisbawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakikatnya menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam akidahnya, walaupun dapat berbeda-beda dalam rincian (furu') ajarannya. Artinya, kitab suci ini mengakui kebhinekaan dalam ketunggalan. Ini juga sejalan dengan kehendak Ilahi, antara lain yang dinyatakan-Nya dalam Al-Quran surat Al-Ma-idah (5): 48: Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja). Tetapi itu tidak dikehendaki-Nya. 


Sebagaimana terpahami dari perandaian kata lauw, yang oleh para ulama dinamai harf imtina' limtina', atau dengan kata lain, mengandung arti kemustahilan. Kalau demikian, tidak dapat dibuktikan bahwa Al-Quran menuntut penyatuan umat Islam seluruh dunia pada satu wadah persatuan saja, dan menolak paham kebangsaan. Jamaluddin Al-Afghani, yang dikenal sebagai penyeru persatuan Islam (Liga Islam atau Pan-Islamisme), menegaskan bahwa idenya itu bukan menuntut agar umat Islam berada di bawah satu kekuasaan, tetapi hendaknya mereka mengarah kepada satu tujuan, serta saling membantu untuk menjaga keberadaan masing-masing. Janganlah kamu menjadi seperti mereka yang berkelompok-kelompok dan berselisih, setelah datang penjelasan kepada mereka ... (QS Ali 'Imran [3]: 105). Kalimat "dan berselisih" digandengkan dengan "berkelompok" untuk mengisyaratkan bahwa yang terlarang adalah pengelompokan yang mengakibatkan perselisihan. Kesatuan umat Islam tidak berarti dileburnya segala perbedaan, atau ditolaknya segala ciri/sifat yang dimiliki oleh perorangan, kelompok, asal keturunan, atau bangsa. 


Kelenturan kandungan makna ummat seperti yang dikemukakan terdahulu mendukung pandangan ini. Sekaligus membuktikan bahwa dalam banyak hal Al-Quran hanya mengamanatkan nilai-nilai umum dan menyerahkan kepada masyarakat manusia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai umum itu. Ini merupakan salah satu keistimewaan Al-Quran dan salah satu faktor kesesuaiannya dengan setiap waktu dan tempat. Dengan demikian, terjawablah pertanyaan pertama itu yakni Al-Quran tidak mengharuskan penyatuan seluruh umat Islam ke dalam satu wadah kenegaraan. Sistem kekhalifahan --yang dikenal sampai masa kekhalifahan Utsmaniyah-- hanya merupakan salah satu bentuk yang dapat dibenarkan, tetapi bukan satu-satunya bentuk baku yang ditetapkan. Oleh sebab itu, jika perkembangan pemikiran manusia atau kebutuhan masyarakat menuntut bentuk lain, hal itu dibenarkan pula oleh Islam, selama nilai-nilai yang diamanatkan maupun unsur-unsur perekatnya tidak bertentangan dengan Islam.


Islam mengakui bahwa
perbedaan adalah suatu hal yang alami bagi manusia, dan setiap umat harus beriteraksi dengan perbedaan sesuai kaidah, “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” 
(QS. al-Hujuraat: 13) Allah Swt telah menciptakan manusia berbeda-beda bangsa, budaya dan bahasanya, akan tetapi pada dasarnya mereka adalah “umatan
wahidatan” atau umat yang satu, maksudnya, perbedaan mereka tidak menghapuskan kesatuan kemanusiannya.

Rasulullah Saw bersabda,
“barangsiapa yang menyakiti kaum dzimmi (orang yang berada dalam lindungan kaum mukmin), maka ia telah meyakitiku.” Sementara jika pihak lain berasal dari kaum kafir, maka, hubungan kita dengan mereka harus berdasarkan kaidah “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Dalam setiap kondisi tersebut, sesungguhnya hubungan kaum muslimin dengan pihak lain bisa dirangkum dalam
sebuah hadits Rasulullah Saw “Seorang muslim adalah orang yang membuat manusia lain selamat dari tangan dan lisannya.” 

Dalam konteks kesatuan berbangsa inilah, maka para pendiri Negara ini sejak awal telah merumuskan empat pilar kebangsaan agar Negara ini menjadi Negara yang kuat dan dapat
berdiri dengan tegak dan bisa bersaing dengan Negara lainnya, yakni : Pancasila, UUDNRI, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.